pilihan

Bisnis adalah suatu pilihan, sukses adalah harapan. Dari beberapa bisnis yang pernah saya jalankan selama ini dari mulai warnet, FC, percetakan, Cucian mobil, Toko spartpart, dsb yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu....beternak ayam petelurlah yang sejauh ini saya lihat sangat prospek, dari tahun ketahun, saya rasa inilah pilihan yang tepat untuk berbisnis. Memang sangatlah besar menurut saya modal yang harus dikeluarkan, tapi ingat " Bisnis besar harus siap dengan resiko besar".

Sunday, December 8, 2013

Kandang Modifikasi demi Produksi dan Efisiensi


Modifikasi kandang secara bertahap, mengadopsi sistem closed house demi keuntungan maksimal
Jarak antar kandang dalam satu peternakan, maupun antar peternakan satu dengan peternakan lain di daerah Srengat, Blitar demikian rapat, bahkan sebagian saling berhimpitan. Fakta ini memaksa Eko Yudi Purwanto melakukan perubahan pada kandang-kandang layer (ayam petelur) peliharaannya. Pengelola peternakan layer berbendera Rossa Farm ini, sejak 4 tahun lalu mulai memodifikasi kandang-kandangnya jadi semiclosed house (kandang semi-tertutup). Sekitar 80 % kandang telah ia modifikasi. Targetnya, tahun ini seluruh kandang berpopulasi 65.000 ekor itu tuntas termodifikasi. 
Ventilasi yang ia aplikasikan adalah tipe tunnel (seperti terowongan). Sekeliling kandang ditutup dengan tirai, ada plafon, dilengkapi cooling pad, dan menggunakan exhaust fan (kipas penghisap udara) guna mendapatkan efek wind chill (hembusan udara) dari tipe ventilasi yang telah ia pilih.
Eko mencontohkan, pada kandangnya yang berkapasitas 6.000 ekor, ia lengkapi dengan 3 exhaust fan. Pada kondisi normal, 2 kipas berjalan penuh selama 24 jam. Suhu ia atur pada 26 oC sebagai batas atas. Bila melebihi batas atas ini maka secara otomatis kipas ketiga akan menyala. Kalau suhu tak kunjung turun dengan 3 kipas maka secara otomatis air akan membasahi cooling pad. Molekul air dari cooling pad ini yang kemudian dihisap kipas untuk menurunkan suhu. Namun Eko mengingatkan, penggunaan cooling pad cukup sekitar 5 menit saja agar kelembaban tidak berlebihan.
Tak hanya karena faktor jarak kandang yang sudah tidak ideal, modifikasi itu dilakukan Eko juga demi mengatasi lalat dan bau yang dulu kerap jadi gangguan di peternakannya. ”Dulu lalat dan bau itu benar-benar mengganggu. Tapi sekarang setelah modifikasi kandang, gangguan lalat signifikan jauh menurun,” bandingnya saat masih menggunakan open house (kandang terbuka).  
Dan yang terpenting, bagi Eko modifikasi kandang itu mampu membuat produktivitas layer-nya lebih tinggi, deplesi rendah, dan berat badan saat afkir bagus. Efisiensi pakan pun lebih baik, sebab menurutnya stres karena cekaman cuaca dan penyakit, terutama penyakit pernafasan, dapat ditekan. ”Itu artinya ayam nyaman dan saya pun tenang,” ujarnya.
 Berbeda dengan Eko, Anas Sudjatmiko peternak broiler di Jawa Barat masih percaya pada open house, terutama model panggung. Meski ia tak menampik, performa broiler-nya sangat dipengaruhi cuaca, terlebih cuaca yang kini semakin ekstrim.
Untuk meredam faktor cuaca itu, Anas menyiasati dengan menambahkan kipas penghembus udara (blower) di dalam kandang. ”Penambahan kipas ini hanya pada kandang-kandang yang aliran anginnya kurang bagus atau terletak di lingkungan dengan pemukiman penduduk yang padat,” katanya.
Namun Anas tak menutupi keinginannya untuk memiliki semi closed house dengan ventilasi tipe tunnel. “Saya ingin membandingkan bagaimana hasilnya,” ujarnya. Untuk sistem pemberian pakan dan air minum, ia juga tertarik menggunakan sistem pemberian otomatis, yaitu model auger feeding untuk pakan dan nipple untuk air minum. ”Teknologi otomatis itu sudah tersedia semua. Tinggal investasi dan penyiapan sumber daya manusia yang akan menjalankannya saja,” ujarnya.
Menurut Syahrir Akil – General Manager PT Charoen Pokphand Indonesia, modifikasi kandang adalah penting dan bertujuan menyelamatkan peternak. Aplikasi teknologi ini membuat ayam dan lingkungan nyaman. Apalagi cuaca semakin ekstrim dan lahan peternakan semakin bersaing dengan pemukiman.
Namun yang terpenting dari modifikasi kandang bagi Syahrir adalah proses menuju closed house. ”Ya seperti investasi setahap demi setahap menuju closed house yang sesungguhnya,” katanya. Dengan kalkulasinya Syahrir yakin modifikasi kandang yang di dalamnya ada sentuhan teknologi dapat menurunkan biaya produksi dan meningkatkan keuntungan. Misalnya pada broiler, dalam hitungan 9 atau 10 periode produksi, ia yakin modal untuk modifikasi bisa kembali. ”Harga jual broiler tidak bisa dilawan. Tapi keuntungan bisa dimaksimalkan dengan modifikasi kandang. Dengan untung maksimal, proses menuju closed house akan semakin cepat,” tuturnya.
Teddy Chandra – Marketing Manager Equipment Division PT Agrinusa Jaya Santosa sependapat dengan Syahrir. Katanya, “Modifikasi kandang itu step by step mengarah ke full closed house.” Meski setahap demi setahap, Teddy mengamati peternak cenderung melihat nominal investasi yang besar, ketimbang hasil yang akan diperoleh. Padahal sudah jelas, dengan modifikasi, harga pokok produksi jadi lebih rendah sehingga bisa lebih kompetitif bersaing, katanya. 
Dari 3 komponen penting yang perlu dimodifikasi dan diberi sentuhan teknologi, Teddy mengurutkan, sistem mikro-klimat dalam kandang (ventilasi) yang didahulukan. Setelah itu sistem pemberian air minum, dan terakhir sistem pemberian pakan. Sebab ventilasi dapat mempengaruhi tingkat kepadatan ayam dalam kandang, kata Teddy. Jose Rizal yang konsultan perunggasan sependapat. Tutur Jose, sistem mikro-klimat harus dimodifikasi lebih dulu agar stres panas dapat dicegah. Pun halnya dengan Syahrir. Menurutnya, memenuhi zona nyaman ayam adalah prioritas, sistem pemberian pakan dan air minum adalah pelengkap.  
Sistem Mikro-Klimat
Penambahan blower seperti yang dilakukan Anas pada kandang broiler-nya merupakan satu bentuk modifikasi sekaligus sentuhan teknologi sederhana dari sistem mikro-klimat. Tapi terang Syahrir, sebelum menggunakan blower, ada satu modifikasi yang lebih sederhana dan penting, tapi masih belum banyak dilakukan peternak, yaitu plafon. ”Selama ini open house itu blong saja, tanpa plafon. Apalagi kandang beratap asbes, plafon sangat penting,” ujarnya.
Plafon ini, lanjut Syahrir, bisa menggunakan tirai, terpal, atau plastik. Tinggi plafon dari lantai bisa sekitar 2 – 2,5 m. Tujuan plafon adalah agar panas dari atap tidak langsung ke ayam, tapi tertahan dulu di plafon. Sehingga panas yang diterima ayam sudah berkurang.
Jose menambahkan, plafon mempengaruhi kecepatan udara dalam kandang. Apalagi pada closed house,saat ini kata Jose, luas segitiga atap tidak dihitung lagi. Hanya luas penampang, yaitu lebar kandang dikali tinggi dari lantai ke plafon. Pun halnya dalam modifikasi ke closed house, katanya, lebar kandang tidak mungkin dimodifikasi. Jadi tinggi lantai ke plafon yang diatur agar kecepatan udara sesuai.
Pada semi closed house yang plafonnya terlanjur terlalu tinggi, misalnya 3 m, Jose punya cara modifikasi hemat biaya. Tak perlu merombak plafonnya, tapi cukup menambahkan deflektor yang melintang di tengah kandang (sejurus lebar kandang) dengan posisi tidak tegak lurus, sedikit miring. ”Panjangnya dibuat sekitar 1 m. Bisa dari tirai atau karung bekas,” katanya. 
Fungsi blower, Syahrir menerangkan, berperan sebagai pencipta tekanan positif yang akan mendorong udara panas keluar kandang. Karena kemampuan dorong blower terbatas, Syahrir menyarankan, untuk yang berukuran 36 inch, blower ditempatkan di setiap jarak 20 meter sepanjang kandang. Tujuannya, agar pendorongan udara panas dan gas beracun keluar lebih optimal.
 Kata Syahrir, saat ini sudah tersedia blower yang dilengkapi dengan nozzle untuk menciptakan kabut berisi molekul air. ”Mirip cooling pad, tapi molekul air langsung didorong oleh blower,” katanya. Molekul air yang tercipta dari blower model ini halus, sebab dropletnya kecil sehingga ayam tidak akan kebasahan. Tak hanya efektif, blower model ini juga menguntungkan, kata Syahrir. Sebab air yang digunakan untuk menciptakan kabut molekul air dapat dicampur dengan desinfektan. Syahrir menambahkan, untuk kandang dengan panjang 60 m, penggunaan 3 blower model ini sudah cukup.
Syahrir juga mengingatkan, tiap periode peternak perlu mengevaluasi jumlah penggunaan blower, baik model biasa atau yang dilengkapi nozzle. Bila 1 blower dinilai masih kurang, maka ditambahkan 1 lagi. 
Selain blower, ada alat lain yang juga terkait sistem mikro-klimat, kata Syahrir. Yaitu sprinkle (alat penyemprot air) yang ditempatkan di atap kandang. Sprinkle berfungsi seolah-olah menciptakan hujan buatan agar atap tetap dingin. Namun yang perlu diperhatikan adalah jumlah dan lama air yang disemprotkan. Sebab terkait dengan jenis atap dan luas permukaan atap. Dari segi efektivitas dan biaya, Syahrir lebih merekomendasi blower yang dilengkapi nozzle.
Selengkapnya baca di majalah Trobos edisi Juni 2012
http://www.trobos.com/show_article.php?rid=28&aid=3401

Tuesday, September 4, 2012

Sejarah Singkat Ayam Petelur 
(Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi)
          Ayam petelur adalah ayam-ayam betina dewasa yang dipelihara khusus untuk
diambil telurnya. Asal mula ayam unggas adalah berasal dari ayam hutan dan
itik liar yang ditangkap dan dipelihara serta dapat bertelur cukup banyak. Tahun
demi tahun ayam hutan dari wilayah dunia diseleksi secara ketat oleh para
pakar. Arah seleksi ditujukan pada produksi yang banyak, karena ayam hutan
tadi dapat diambil telur dan dagingnya maka arah dari produksi yang banyak
dalam seleksi tadi mulai spesifik. Ayam yang terseleksi untuk tujuan produksi
daging dikenal dengan ayam broiler, sedangkan untuk produksi telur dikenal
dengan ayam petelur. Selain itu, seleksi juga diarahkan pada warna kulit telur
hingga kemudian dikenal ayam petelur putih dan ayam petelur cokelat.
         Persilangan dan seleksi itu dilakukan cukup lama hingga menghasilkan ayam
petelur seperti yang ada sekarang ini. Dalam setiap kali persilangan, sifat jelek
dibuang dan sifat baik dipertahankan (“terus dimurnikan”). Inilah yang kemudian
dikenal dengan ayam petelur unggul.
Menginjak awal tahun 1900-an, ayam liar itu tetap pada tempatnya akrab
dengan pola kehidupan masyarakat dipedesaan. Memasuki periode 1940-an,
oran mulai mengenal ayam lain selain ayam liar itu. Dari sini, orang mulai
membedakan antara ayam orang Belanda (Bangsa Belanda saat itu menjajah
Indonesia) dengan ayam liar di Indonesia. Ayam liar ini kemudian dinamakan
ayam lokal yang kemudian disebut ayam kampung karena keberadaan ayam itu
memang di pedesaan. Sementara ayam orang Belanda disebut dengan ayam
luar negeri yang kemudian lebih akrab dengan sebutan ayam negeri (kala itu
masih merupakan ayam negeri galur murni). Ayam semacam ini masih bisa
dijumpai di tahun 1950-an yang dipelihara oleh beberapa orang penggemar
ayam. Hingga akhir periode 1980-an, orang Indonesia tidak banyak mengenal
klasifikasi ayam. Ketika itu, sifat ayam dianggap seperti ayam kampung saja,
bila telurnya enak dimakan maka dagingnya juga enak dimakan. Namun,
pendapat itu ternyata tidak benar, ayam negeri/ayam ras ini ternyata bertelur
banyak tetapi tidak enak dagingnya.
          Ayam yang pertama masuk dan mulai diternakkan pada periode ini adalah
ayam ras petelur white leghorn yang kurus dan umumnya setelah habis masa
produktifnya. Antipati orang terhadap daging ayam ras cukup lama hingga
menjelang akhir periode 1990-an. Ketika itu mulai merebak peternakan ayam
broiler yang memang khusus untuk daging, sementara ayam petelur
dwiguna/ayam petelur cokelat mulai menjamur pula. Disinilah masyarakat mulai
sadar bahwa ayam ras mempunyai klasifikasi sebagai petelur handal dan
pedaging yang enak. Mulai terjadi pula persaingan tajam antara telur dan
daging ayam ras dengan telur dan daging ayam kampung. Sementara itu telur
ayam ras cokelat mulai diatas angin, sedangkan telur ayam kampung mulai
terpuruk pada penggunaan resep makanan tradisional saja. Persaingan inilah
menandakan maraknya peternakan ayam petelur.
          Ayam kampung memang bertelur dan dagingnya memang bertelur dan
dagingnya dapat dimakan, tetapi tidak dapat diklasifikasikan sebagai ayam
dwiguna secara komersial-unggul. Penyebabnya, dasar genetis antara ayam
kampung dan ayam ras petelur dwiguna ini memang berbeda jauh. Ayam
kampung dengan kemampuan adaptasi yang luar biasa baiknya. Sehingga
ayam kampung dapat mengantisipasi perubahan iklim dengan baik
dibandingkan ayam ras. Hanya kemampuan genetisnya yang membedakan
produksi kedua ayam ini. Walaupun ayam ras itu juga berasal dari ayam liar di
Asia dan Afrika.